Islam pertama kali datang ke Jepang pada awal 1900-an ketika Muslim Tatar melarikan diri dari ekspansionisme Rusia. Komunitas Muslim di Jepang memiliki sejarah lebih dari 100 tahun, meskipun beberapa sumber kontes lebih dari jumlah ini. Pada tahun 1909 berdasarkan dokumentasi dari sejarawan Caeser E. Farah bahwa Abdul-Rasyid Ibrahim adalah Muslim pertama yang berasal dari etnis Jepang, dan pada tahun 1935 Masjid Kobe, bangunan Islam pertama di Jepang dibangun. Beberapa sumber telah menyatakan bahwa pada tahun 1982 kaum muslim berjumlah 30.000 (separuh penduduk asli).
Banyak penduduk asli Jepang memeluk islam selama economy-boom tahun 1980-an ketika sebagian besar wilayah imigran dari Asia datang dan terintegrasi dengan penduduk setempat. Mayoritas perkiraan populasi Muslim sekitar 100.000 orang. Islam tetap merupakan agama minoritas di Jepang, dan tidak ada bukti apakah Islam tumbuh atau tidak. Selanjutnya pada tahun 2000 Keiko Sakurai memperkirakan jumlah Muslim Jepang pada 63.552 orang, dan sekitar 70.000 - 100.000 Muslim asing yang tinggal di negara ini. Namun menurut esais Penn Michael menyatakan bahwa Muslim di Jepang terdiri dari 90% Muslim asing dan sekitar 10% adalah penduduk asli, tetapi angka yang benar tidak diketahui dan ini hanyalah perkiraan spekulatif.
Kobe Mosque After World War II |
Di Jepang pemerintah tidak mengambil segi agama untuk memperhitungkan sebagai bagian dari demografi di bawah kebebasan beragama. Penn menyatakan, "Pemerintah Jepang tidak menyimpan semua statistik tentang jumlah Muslim di Jepang Baik penduduk asing atau etnis Jepang yang pernah ditanya tentang agama mereka oleh lembaga resmi pemerintah.".
Kobe Mosque Now |
Statistik menunjukkan bahwa di sekitar 80% daripada jumlah penduduk Jepang adalah penganut Buddha atau Shinto, sedangkan hanya 0,095% atau hanya berjumlah 121.062 orang. Bilangan pendakwah yang berpotensi dalam komunitas Muslim di Jepang adalah amat kecil, dan terdiri daripada para pelajar dan berbagai jenis pekerjaan yang bertumpu di kota besar seperti Hiroshima, Kyoto, Nagoya, Osaka dan Tokyo.
Terdapat keperluan yang lanjut untuk orang-orang Muslim bertahan daripada tekanan-tekanan dan godaan-godaan gaya hidup modern yang lebih gairah. Orang-orang Muslim juga menghadapi kesusahan terhadap komunikasi, perumahan, pendidikan anak, makanan halal, serta kesusasteraan Islam, dan semua ini menghalang kegiatan-kegiatan dakwah di Jepang.
Tanggapan salah terhadap ajaran Islam yang diperkenalkan oleh media-media barat perlu dibetulkan dengan cara yang lebih cekap dan yang mengambil kira ciri penting masyarakat Jepang sebagai salah satu negara yang paling tidak buta huruf di dunia. Bagaimanapun, disebabkan persebaran orang Muslim yang amat sedikit, terjemah Alquran dalam bahasa Jepang juga tidak mudah didapati. Hampir tidak adanya kesusasteraan Islam di dalam toko-toko buku atau perpustakaan-perpustakaan umum, kecuali beberapa esai dan buku dalam bahasa Inggris yang dijual pada harga yang agak mahal.
Oleh itu, tidaklah mengejutkan untuk mendapati bahwa pengetahuan orang Jepang yang biasa tentang agama Islam hanya dihadapkan kepada beberapa istilah yang berkaitan dengan poligami, Sunni dan Syiah, Ramadhan, Haji, Nabi Muhammad, dan Allah. Dengan kesan-kesan yang semakin terang tentang kesadaran kewajiban komunitas-komunitas Islam serta penilaian yang rasional, Umat Muslim telah menunjukkan tanggungan yang lebih kuat terhadap pelaksanaan kegiatan-kegiatan dakwah dengan cara yang lebih teratur.
Source :
www.islamawareness.net/Asia/Japan/
http://www.noora1.com/dawaah_in_japan.htm
No comments:
Post a Comment